Pages

Devina's notes


Minggu, 28 Oktober 2012

Sakral itu pernikahan

Ini terjadi di bulan Oktober. Menyebabkan Oktober mingggu akhir menjadi kelam bagiku uouooooo~, hitaaaam, Oktoberku hitaaam~ *pletuk!




Kenapa Oktober ini bisa menjadi sangat kelam? Satu hal yang pasti, itu karena berlangsungnya pernikahan sodara yang bertepatan dengan hari sekolahku. Bukan bukan, itu alasan kedua deng. Ya sudah biar aku utarakan apa yang menjadi alasan primernya!

Setelah asyik mendengarkan pa Ujang bercerita tentang konser musik yang akan dilancarkan di suatu sekolah, intuisi musik ku langsung mengirimkan impuls “ayo dev, dataaaaang...” ke otak kanan, sekalipun pelaksanaannya bertepatan dengan jadwal les, dan akan digelar hingga larut malam, aku tak peduli. Yang penting nonton konser, duduk manis sebelah Pa Ujang, komentar sana-sini, ngucapin selamat tanggal 24 (?), pulang, tidur, dan mimpi indah. Senangnya hati saat ibunda mengijinkan aku untuk menghadiri acara tersebut. Tapi naasnya... batang singkong invisible itu selalu jago nusuk, jleb! Aku disadarkan oleh ibunda bahwa Hari Rabu kami harus pergi ke desa Loskulalet di Pangalengan untuk mengahadiri pernikahan sodara kami pada esok harinya. Ibarat larutan dalam reaksi kimia, kenyataan ini bersifat 〖~OH〗^- yang berarti memiliki sifat basa atau pahit yang tidak terdefinisi (--,a) langsung eneg.



Dari sisi yang lain, saat itu aku sedang semangat sekali belajar dan PDKT sama pelajaran eksak. Barangkali inilah yang bisa disebut dengan semangat 45 karena rasanya seperti kerasukan semangat pahlawan angkatan ’45. Tapi apalah yang terjadi? Semangat juang ’45 yang baru mencuat beberapa titik ini langsung dihapus begitu saja dengan datangnya zona titik nadir semangat juang ’95. Alhasil dari reaksi semangat ’95 ini adalah... kesal. Semangatku langsung terkoyak, habis termakan si jabang bayi yang bahkan jabangnya belum dibuat (?)



Saking kesalnya karena merasa terpaksa, akupun curhat pada Pa Ujang mengenai kekesalanku. Apa yang dia katakan sangat singkat namun ada benarnya juga.



“Sabaar :) nikmatin aja :)”



Lalu aku melanjutkan curhat, bahwa aku kesal kuadrat. Bukan karena aku tidak suka datang kesana ataupun tidak ingin bersilaturahmi, tapi udangan yang datang dirasa kurang tepat. Apalagi ini pernikahan, event besar. Kalau aku memilih tidak hadir dan mengusungkan egoistisme, aku akan dicap tidak sopan dan tidak tau cara bersodara yang baik. Setelah 140 karakter di sms aku habiskan untuk Pa Ujang, balasan yang didapat sama singkatnya.



“Ga ada silaturahmi yang sia-sia :)”



Beuh. OK, aku ngalah deh... aku telan bulat-bulat semua orang yang tidak paham kebencianku dihadapkan pada situasi dimana munculnya dilema akut (bukan orangnya deng). Sementara itu, Ibu malah memberi intruksi padaku untuk segera menyiapkan baju ketika aku sedang membaca buku kimia, bab Sel Volta, karena akan menginap disana selama 3 hari 2 malam. Tambah rungsing lah moodku. Teringat pada semua tugas yang masih belum ku lunasi. PERSPEKTIF, OH PERSPEKTIF.... haruskah aku membawa penggaris 60 cm, alat tulis, dan karton ke sana untuk melanjutkan tugas perspektif? (-,-)



Pada akhirnya, aku hanya bisa menggapai kesimpulan payah, bahwa mungkin inilah sisi sakral dari pernikahan milik sodaraku. Sebelum resepsi pernikahan digelar pun, kesakralan sudah sangat kental terasa, ibarat susu full cream berlogo bendera yang full kentalnya benar-benar full, tanpa larutan encer sedikitpun. Tetapi lewat kisah ini aku jadi menerawang, tentang kesakralan dalam pernikahanku sendiri suatu saat nanti. Akankah pernikahanku membuat orang juga berada di kondisi yang dilema seperti yang dirasakan olehku? Semoga TIDAK. Aku ingin berita pernikahanku benar-benar membawa berkah dan menjadi berita paling membahagiakan abad 21 bagi semua orang. CAM kan! XD



Yang jelas, untuk saudaraku, jikalau pernikahan kalian tidak seharmonis, seindah, serukun, dan tidak setara dengan pengorbanan yang aku berikan, akan aku bunuh kaliaaaaaan~! (-,-*) #justkidding.



...Selamat menempuh hidup baru, neng Dini dan Aa Budi...<3>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar